Jumat, 08 Mei 2009



NGAJOGJAKARTA HADININGRAT
dulu dan sekarang ........

JOGJA…… Ibu kota DI Jogjakarta, terletak di jantung pulau jawa dengan jumlah penduduk sebesar 4,3.juta. Jogjakarta juga merupakan salah satu kota kerajaan yang masih berdiri dan diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Sampai saat ini, Jogjakarta juga dikenal sebagai kota yang menjadi pilihan utama bagi para penduduk Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun kemasyuran kota Jogjakarta ini hanya sempat menjadi bahan pembicaraan dan tidak pernah terlintas bahwa kelak dikemudian hari akan menjadi bagian dari kota yang penuh dengan nilai—nilai tradisional jawa yang dipengaruhi oleh budaya keraton ngajogjakarta hadiningrat.

Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Kali pertama punya kesempatan tour ke beberapa objek wisata disekitar jawa tengah termasuk menjelajahi kota Jogjakarta terutama seputaran jalan malioboro dan Kraton Jogja dalam rangka perpisahan sekolah. Kesan yang paling mendalam adalah panas, gerah, cape’ dan tidak nyaman. Maklum saja karena perjalanan nonstop tanpa waktu istirahat (istrirahatnya ditempat tujuan) dan rombongan datang dari kota berhawa sejuk, Bandung.

Suatu Masa.
Menjadi bagian kota yang belum pernah termimpikan sebelumnya tentu tidak mudah, namun demikian ketidakmudahan ini tertolong oleh batasan waktu dan segala macam aturan yang harus dipatuhi sehingga interaksi dengan lingkungan kota Jogja tidak begitu besar. Sehingga dari beberapa tahun tinggal di Jogja bisa dikatakan bahwa hanya pada tahun terakhir saja banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk menikmati, menjelajahi keindahan lingkungan, tradisi dan keramahan penduduk Jogjakarta.

Suatu Jogja......
Kota yang sangat tradisional, asri, penduduknya ramah and respek terhadap kaum pendatang. Tapi itu dulu, kira-kira sepuluh taun yang lalu. Sekarang sepertinya sudah banyak berubah. Banyak faktor yang menjadi penyebab perubahan pada wajahs penduduk dan lingkungan kota Jogja. Generasi baru yang tumbuh dan besar di kota Jogja sudah tidak begitu peduli dengan tradisi yang seharusnya di pertahankan. Selain itu kemudahan memperoleh akses informasi melalui internet tanpa ada ”penyaring” serta bayaknya kaum pendatang yang ”menuntut” ilmu di kota Jogja juga menjadi penyebab terkikisnya budaya dan tradisi masyarakat Jogja. Jogja saat ini nampak jorok, kotor, macet dan tak terurus.

Secara Jogja.....
Kota yang oleh para pengamat ekonomi ”jalanan” disebut kota paling ekonomis, karena harga-harga makanan yang ditawarkan menyesuaikan dengan standar kantong Mahasiswa dengan tidak menghilangkan sentuhan magis-nya makanan khas seperti gudeg campur telur...tempe atau tahu bacem.....plus es jeruk di sekitar tugu dan batas kota, atau di jalan Njanti dengan mie goreng, dan tempe/ tahu penyetnya Timoho dan tidak ketinggalan steak waroeng....murah...meriah gambreng, dengan ditemani lantunan bait-bait lagu yang didendangkan oleh musisi jalanan. Untuk yang terakhir ini, harus menyiapkan ektra uang recehan karena para musisi ini well-organized dengan interval waktu dari satu group ke group yang lain sekitar 3 menit-an. Keberadaan musisi jalanan ini juga menjadi keunikan lain dari kehidupan kota Jogja disamping juga sangat mengganggu kenyamanan menikmati santapan yang telah tersedia.

Karena Jogja....
Karena Jogja-lah yang pertama kali memperkenalkan kata pacaran sampai dengan jadi istri plus bonus anak semata wayang. Waktu yang diperlukanpun bukannya sedikit, hampir 10 tahun sejak pertama kenal dengan kata ”pacaran”.

Sebegitu Jogja....
Kota yang tetap akan menjadi legenda dan tetap layak untuk masuk dalam peringkat pertama tujuan wisata keluarga sekaligus bernostalgia. Sebegitu kota yang tidak akan habis untuk dijadikan bahan cerita anak cucu....


dipersimpangan langkahku ...terhenti....
ramai kaki lima...menjajakan sajian khas berselera
orang duduk bersila.....

musisi jalanan mulai beraksi..
seiring laraku kehilangan mu....
merintih sendiri ditelan deru kota....

Malam ini jogja tiada kan kembali..........

by Kla Project

Tidak ada komentar:

Posting Komentar